Gedung Sumpah Pemuda |
Saat masih hidup, banyak yang memintanya menuliskan pengalaman dan apa yang diketahuinya perihal kongres, yang kemudian mengantar terjadinya Kongres Pemuda
1928 yang momumental tersebut. Tapi Tabrani selalu menolak. Sikapnya baru mencair ketika pada 1973, Sudiro, bekas Wali Kota Jakarta, memintanya. Maka Tabrani pun menuliskan pengalamannya dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda. Buku ini diterbitkan pada 1974 oleh Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta.
Menurut Tabrani, laporan kongres yang berjudul Verslag van Het Eerste Indonesisch Jeugdcongress (Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama) yang diterbitkan oleh Panitia Kongres telah dimusnahkan Belanda. Ia mengetahui kabar itu ketika tengah bersiap meninggalkan Tanah Air untuk berangkat ke Jerman. Tapi, untunglah, sebelumnya ia telah mengirimkan salinan laporan itu ke Museum Pusat dan sejumlah media massa.
Pada 1973 Tabrani menemukan dokumen kongres itu di Museum Pusat yang kini bernama Museum Nasional. Menurut Tabrani, untuk mengelabui pemerintah Belanda, saat itu ia melakukan sejumlah trik kala kongres. Beberapa orang sengaja ia perintahkan mengobrol dengan kepala polisi rahasia dan sejumlah pejabat Belanda yang hadir. Tujuannya, agar mereka tak sempat menyimak pidato peserta kongres.
Persiapan Kongres Pemuda Pertama dilakukan pada 15 November 1925 di gedung Lux Orientis, Jakarta. Hadir lima organisasi pemuda dan beberapa peserta perorangan. Organisasi itu Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Pelajar Minahasa, dan Sekar Roekoen. Tabrani mewakili Jong Java. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan membentuk panitia Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Tujuan kongres tersebut, adalah menggugah semangat kerja sama di antara bermacam-macam organisasi pemuda di tanah air, supaya dapat diwujudkan dasar pokok lahirnya persatuan Indonesia, di tengah-tengah bangsa di dunia. Panitia kongres terdiri atas 10 orang, di antaranya Bahder Djohan, Sumarto, Jan Toule Soulehuwij, Paul Pinontoan, dan Tabrani. Dari sini lantas dibentuk panitia inti dengan komposisi pengurus meliputi Ketua Tabrani, wakil ketua Sumarto, sekretaris Djamaludin (Adinegoro), dan bendahara Suwarso.
Kongres Pemuda Pertama itu kemudian digelar di Jakarta pada 30 April 1926 hingga 2 Mei 1926. Berbagai persoalan dibahas dalam kongres ini. Bahder Djohan, misalnya, menyampaikan materi “Kedudukan wanita dalam masyarakat Indonesia”. Tapi, lantaran terlambat datang dari Bandung, akhirnya materi tersebut dibacakan Djamaludin. Adapun Paul Pinontoan membahas peranan agama dalam gerakan nasional.
Dalam kongres yang memakai bahasa Belanda itu dibicarakan pula soal bahasa persatuan. Muhammad Yamin, yang membahas “Masa depan bahasa-bahasa Indonesia dan kesusastraannya”, menyatakan hanya dua bahasa, Jawa dan Melayu, yang berpeluang menjadi bahasa persatuan. Namun Yamin yakin bahasa Melayu yang akan lebih berkembang sebagai bahasa persatuan.
Djamaludin sependapat dengan Yamin. Menurut Tabrani, peserta kongres saat itu sepakat menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Namun Tabrani menentang. Menurut Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu. Pendapat ini diterima Yamin dan Djamaludin. Keputusan menetapkan bahasa persatuan itu pun ditunda dan akan dikemukakan lagi dalam Kongres Pemuda Kedua.
Sayangnya, ketika kongres kedua berlangsung, Tabrani dan Djamaludin sedang berada di luar negeri. Tabrani juga disebut-sebut berperan mengubah rumusan Sumpah Pemuda. Sewaktu disepakati, sumpah itu, terutama butir ketiga, berbunyi: “Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Rumusan populer sekarang:”Mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia”.
Menurut Keith Foulcher dalam Sumpah Pemuda, Makna & Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia (Komunitas Bambu, cetakan II, 2008), pergeseran itu tidak terjadi begitu saja. Foulcher merujuk pada Kongres Bahasa 1938. Ketika itu, kata Foulcher, Tabrani menyampaikan topik “Mendorong Penyebarluasan Bahasa Indonesia”. Saat itu ia memberikan argumen bahwa bahasa Indonesia tidak beroposisi terhadap bahasa daerah, tapi merepresentasikan “Sumpah Kita”.
Ia kemudian menyampaikan satu rumusan baru:
Kita bertoempah tanah (sic) satu, jaitoe tanah (sic) Indonesia,
Kita berbangsa satoe, jaitoe bangsa Indonesia,
Kita berbahasa satoe, jaitoe bahasa Indonesia
Tabrani lahir di Pamekasan, Madura, 10 Oktober 1904. Setelah menamatkan pendidikan di MULO Surabaya, dia masuk AMS di Bandung dan kemudian OSVIA, juga di Bandung. Sejak di MULO ia aktif di Jong Java. Meski menuntut ilmu di sekolah calon pamong praja, Tabrani lebih berminat pada jurnalistik. Pada 1926 ia sudah memimpin harian Hindia Baroe bersama Haji Agus Salim. Selepas Kongres Pemuda Pertama, ia berkeliling Eropa, hingga 1931, mencari pengalaman jurnalistik. Ia, antara lain, mengunjungi London, Berlin, Koln, dan Wina. Sembari membantu koran-koran Belanda, seperti Het Volk dan De Teleraaf. Setelah pulang ke Tanah Air, ia mendirikan Partai Rakyat Indonesia dan menerbitkan majalah Revue Politiek. Beberapa tahun kemudian, ia memimpin harian Pemandangan.
Dalam Kongres Persatoean Djoernalis Indonesia Kelima di Solo 1939, Tabrani terpilih sebagai ketua. Di zaman Jepang, ia memimpin koran Tjahaja di Bandung. Pada zaman Jepang ini pula ia pernah dijebloskan ke penjara Sukamiskin. Ia disiksa hingga kakinya cacat, pincang.
Lepas dari penjara, Tabrani memimpin Indonesia Merdeka yang diterbitkan Jawa Hokokai. Saat Indonesia merdeka, ia sempat mengelola koran Suluh Indonesia, milik Partai Nasional Indonesia.
Terima kasih Bung Tabrani. Maafkan kami, pemuda masa kini yang tengah lupa dengan sejarah….
2 comments:
mantapp. thanks yaa lumayan, utk bljr
Alfatehah
Post a Comment