Dariah
lahir di desa Somakaton, kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas dengan nama
Sadam, berjenis kelamin laki-laki. Ibu bernama Samini dan ayah bernama
Kartameja yang hidup sebagai petani kecil. Dariah tidak dapat menyebutkan angka
tahun yang pasti tahun berapa Dariah dilahirkan. Namun demikian Dariah
menuturkan bahwa kakeknya pernah bercerita dirinya lahir tidak lama setelah
Kongres Pemuda. Dengan demikian diperkirakan Dariah lahir pada akhir tahun 1928
atau awal tahun 1929.
Pada
umur 5 tahun Dariah ditinggal mati ayahnya, kemudian Dariah dan ibunya ikut
dengan kakeknya, Wiryareja di desa yang sama. Wiryareja adalah juga seorang
petani kecil dengan lahan pertanian yang tidak terlalu luas. Bersama kakeknya,
Sadam (Dariah) tumbuh sebagai anak desa yang lugu. Dariah menerangkan, “Pada
sekitar umur 8 tahun saya dikhitankan oleh kakek Wiryareja. Saya dikhitan
sebelum datangnya Jepang, sekitar tahun 1942. Dengan asumsi Dariah lahir tahun
1929, maka saat pelaksanaan khitanan terjadi pada tahun 1938.
Pada
saat marak-maraknya kathok karung (celana terbuat dari bahan karung) ada
seorang pengembara (masyarakat setempat menyebutnya maulana) bernama Kaki
Danabau datang ke rumah kakek Wiryareja. Tidak ada seorang pun yang tahu siapa
dan dari mana asal Kaki Danabau, sebab nama tersebut lebih terkesan nama
samaran. Kata “danabau” berasal dari kata “dana” yang berarti memberi dan “bau”
berarti tenaga. “Danabau” berarti memberi bantuan tenaga, artinya Kaki Danabau
menyediakan tenaganya guna membantu orang lain yang membutuhkan.
Kaki
Danabau berdomisili di desa Somakaton dan bertempat tinggal di rumah Wiryareja.
Di rumah kakek Dariah, Kaki Danabau membantu menggarap lahan pertanian,
membersihkan kebun, dan membantu pekerjaan rumah tangga yang lain tanpa mengharapkan
imbalan apapun. Apa yang secara langsung diterima hanyalah makanan pokok yang
disantapnya pada saat-saat tertentu saja. Menurut Dariah, Kaki Danabau jarang
sekali makan nasi. Kaki Danabau sekedar makan beberapa potong ubi jalar rebus
dalam satu hari, selebihnya hanya menghisap rokok klobot (daun jagung) yang
dipadu dengan klembak menyan.
Pada
hari-hari tertentu Kaki Danabau pergi tanpa ada yang tahu ke mana arahnya dan
kemudian datang lagi. Hampir satu tahun Kaki Danabau datang dan pergi ke rumah
Wiryareja sehingga keberadaannya sudah seperti keluarga sendiri.
Pada
suatu ketika Kaki Danabau mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan
sebelumnya. “Wirya, kae putumu si Sadam tah kedunungan indhang lengger. Angger
gelem ginau bisa dadi lengger sing misuwur” (Wirya, cucumu si Sadam dirasuki
indhang lengger. Kalau mau belajar dapat menjadi lengger yang terkenal),
demikian kata Dariah mengenang masa lalunya.
Apa
yang dikatakan oleh Kaki Danabau tidak lepas dari kenyataan yang ada. Dariah
kecil meskipun berjenis kelamin laki-laki, namun suka lenggak-lenggok seperti
seorang lengger dan suka nyindhen (menyuarakan vokal sindhenan) atau melagukan
tembang-tembang Jawa. Kegemarannya menari dan menyanyi dilakukan sambil
melakukan pekerjaan apa saja. Rengeng-rengeng (menyanyi dengan suara lirih)
adalah salah satu kesenangannya selain menari seperti halnya yang dilakukan
oleh lengger di atas pentas. Lagi pula di lingkungan keluarga Dariah ada dua
orang yang pada masa mudanya menjadi ronggeng, yaitu neneknya yang bernama
Mainah dan bibiknya yang bernama Misem. Darah seniman telah mengalir ke dalam
dirinya sehingga tidak mustahil bila Dariah sangat calakan (cepat menangkap)
tembang-tembang yang pernah didengarnya.
Dariah
tidak tahu apakah benar-benar telah kerasukan indhang lengger atau sekedar
terimajinasi kata-kata Kaki Danabau. Setelah mendengar kata-kata tersebut dalam
diri Dariah yang kala itu masih bernama Sadam terjadi gejolak yang tidak
terkendali. Sadam seperti dituntun oleh alam bawah sadar. Tanpa pamit dengan
orang-orang tercinta dan tanpa tahu kemana tujuannya, Sadam pergi dari rumah
tanpa berbekal apapun kecuali sedikit uang yang dimilikinya.
Sadam berjalan sekedar mengikuti langkah kaki. Hal yang masih diingatnya adalah berjalan ke arah timur mengikuti jalan beraspal jalur Banyumas-Banjarnegara, kemudian berbelok ke kiri ke arah Purbalingga. Di daerah Bukateja Sadam sempat berhenti dan diberi air minum oleh warga setempat.
Dariah
terus berjalan entah ke mana dan entah berapa hari sudah dilewatinya, hingga
akhirnya sampai di sebuah pekuburan tua. Dariah melihat banyak batu lonjong
dalam posisi berdiri (menhir) dan ada sebuah arca wanita cantik terbuat dari
batu. Dariah belum juga tahu di wilayah mana dirinya berada. Dariah hanya dapat
memasrahkan hidup dan matinya kepada Hyang Maha Pencipta, dan memohon kalau
memang ditakdirkan menjadi seorang lengger maka dirinya akan menerima dengan
sepenuh hati.
Di
tempat yang sebelumnya sama sekali tidak dikenalnya, Dariah sama sekali tidak
berniat bertapa atau bersemadi, tetapi betapa dirinya merasa tenang dan damai,
sehingga merasa betah dalam waktu berhari-hari. Dariah merasa mendapatkan
perlindungan dari kekuatan magis yang tidak pernah dimengerti. Dariah tidak
dapat mengingat berapa hari dan berapa malam berada di makam tua tanpa makan
dan minum. Menurut Dariah peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada masa
penjajahan Jepang menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia atau sekitar tahun
1944 - 1945 .
Setelah
berhari-hari Dariah berada di tempat pekuburan tua yang sangat mendamaikan
hatinya, selanjutnya mulai terdengar pembicaraan orang-orang yang lewat di
jalan yang ada di sisi barat tempat ia bersimpuh. “Kae sapa sih sing lagi tapa
nang Panembahan Ronggeng?” (Siapa sih yang sedang bertapa di Panembahan
Ronggeng?), tanya seseorang. Yang lain menjawab sekenanya, “Mbuh wong ngendi.
Wong nang Panembahan Ronggeng mesthine ya lagi ngudi men bisa dadi ronggeng”
(Entah orang mana. Orang di Panembahan Ronggeng mestinya ya sedang memohon agar
dapat menjadi ronggeng). Dariah mulai paham bahwa selama beberapa hari ternyata
dirinya berada di Panembahan Ronggeng yang merupakan tempat bagi orang memohon
kepada Penguasa Alam agar dapat menjadi seorang ronggeng.
Panembahan
Ronggeng merupakan tempat bersemadi bagi orang yang menginginkan dirinya
menjadi ronggeng atau lengger, terdapat di desa Gandatapa, kecamatan Sumbang,
kabupaten Banyumas. Dengan demikian Dariah telah berjalan mengelilingi tiga
kabupaten, yaitu kabupaten Banyumas, Banjarnegara, dan Purbalingga, sebelum
akhirnya kembali ke wilayah kabupaten Banyumas di lokasi Panembahan Ronggeng.
Setelah
merasa puas berada di Panembahan Ronggeng, selanjutnya Dariah melanjutkan
perjalanan pulang. Untuk menuju ke tempat tinggalnya di Somakaton, Dariah tidak
begitu saja tahu jalan yang harus dilalui. Dariah harus banyak bertanya kepada
orang yang dijumpainya dalam perjalanan. Akhirnya Dariah sampai di kota
Purwokerto. Di Purwokerto Dariah membelanjakan bekal uangnya untuk membeli
perlengkapan yang dibutuhkan oleh seorang lengger dalam pementasan. Dariah
berambut pendek, dibelinya satu buah gelung brongsong (konde yang dilengkapi
semacam ikat kepala sehingga pemakaiannya tinggal diterapkan di kepala). Dariah
juga membeli kemben (kain penutup dada), sampur, kain, dan keperluan lain.
Barang-barang
hasil belanjaan yang dipersiapkan untuk perlengkapan lengger lalu dibawanya
pulang. Dengan berjalan kaki akhirnya Dariah sampai di Somakaton. Betapa
gemparnya seluruh keluarga, kerabat dan tetangga-tetangganya demi mengetahui
Dariah pulang setelah sekian lama pergi entah kemana tanpa ada seorangpun yang
tahu. Sesampainya di rumah Dariah menceritakan semua yang dialami selama
kepergiannya. Seluruh keluarga dan kerabat menanggapi positif semua yang
terjadi. Semua kerabat menganggap bahwa semua yang telah terjadi merupakan
bagian dari proses yang harus dialami oleh Dariah untuk menjadi seorang
lengger. Beberapa orang yang memiliki ketrampilan bermain gamelan dikumpulkan
untuk berlatih bersama-sama dengan Dariah.
Semenjak
itulah Dariah menjadi seorang lengger. Menurut Dariah apa yang dialaminya itu
terjadi pada masa penjajahan Jepang menjelang kemerdekaan Indonesia (antara
tahun 1944 – 1945).
Postingan
Ini Ditulis oleh Wong Banyumas
2 comments:
blogwalking, nice article, thanks
kunjungan perdana neh gan, artikel bagus, thanks
Post a Comment