Pernahkah anda membayangkan Al Quran berbahasa Banyumasan? Atau seperti apa jadinya jika Al Quran diterjemahkan ke bahasa Banyumasan? Bagaimanapun jadinya, yang jelas Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Agama RI sedang menggarap penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Banyumas. Selain dari STAIN Purwokerto, tim penerjemah juga melibatkan pesantren dan budayawan Banyumas.
Ketua tim penerjemah yang sekaligus kepala Pusat Bahasa dan Budaya, Supriyanto, Lc., M.S.I menjelaskan, penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Banyumas merupakan upaya mengkomunikasikan wahyu dengan kebudayaan lokal. Sifat Al-Qur’an yang rahmatan lil ‘alamin harus diturunkan dalam hal-hal detile yang berorientasi operasional. Menurutnya, bahasa Al-Qur’an bersifat global dan universal, sementara masyarakat berkomunikasi dengan bahasa-bahasa praktis yang sederhana. Maka Al-Qur’an harus dibahasakan secara operasional dalam bahasa lokal tanpa mengurangi nuansa sakralnya.
Sementara itu, budayawan sekaligus penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari menuturkan bahwa salah satu hal krusial penerjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Banyumas adalah menjaga nuansa “langit” sebagai karakteristik utama kitab suci. Persoalannya terletak pada karakter bahasa Banyumas yang pada dasarnya tidak mengenal “tata krama”. Sementara Al-Qur’an banyak mengandung dialog antara Tuhan, manusia, dan makhluk-makhluk lain yang dimuliakan. Tidak mungkin misalnya teks-teks Al-Qur’an yang merepresentasikan firman Tuhan dibahasakan secara cablaka. Oleh karena itu, bahasa Banyumas yang digunakan adalah dialek yang menggunakan “tata krama” secara proporsional.
Lebih lanjut dia menjelaskan dari perspektif silsilah bahasa Jawa, bahasa Banyumas merupakan bentuk konsisten dari perkembangan sebelumnya. Perkembangan bahasa Jawa teridi dari 3 (tiga) fase, yaitu kuna, tengahan, dan anyaran. Fase kuna adalah bahasa Jawa yang digunakan pada masa-masa awal kerajaan Jawa. Fase tengahan adalah bahasa Jawa yang digunakan pada masa kerajaan Pajang – Demak. Fase anyaran membelah menjadi 2 (dua), yaitu Banyumas dan Bandek (Jogja-Solo). Dibanding bahasa Jawa Bandek, Jawa Banyumas muncul lebih dulu.
“Bahasa Banyumas itu bentuk yang konsisten dari bahasa Jawa kuna dan tengahan. Bahasa Bandek dibentuk belakangan secara politik oleh keraton yang dimaksudkan untuk membangun tradisi berbeda dengan kebanyakan masyarakat. Bahasa Bandek kemudian berkembang dimasyarakat karena dampak subordinasi tuan terhadap rakyatnya”, jelas penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk yang pernah diangkat ke layar lebar tersebut"
Wah, bagaimana jadinya yah? Apa pun jadinya, sebagai warga Banyumas, kita layak mengapresiasi upaya penerjemahan Al Quran ke dalam bahasa Banyumasan. Kita tunggu saja hasilnya…
2 comments:
Perkembangan bahasa Jawa teridi dari 3 (tiga) fase, yaitu kuna, tengahan, dan anyaran. Fase kuna adalah bahasa Jawa yang digunakan pada masa-masa awal kerajaan Jawa. Fase tengahan adalah bahasa Jawa yang digunakan pada masa kerajaan Pajang – Demak. Fase anyaran membelah menjadi 2 (dua), yaitu Banyumas dan Bandek (Jogja-Solo). Dibanding bahasa Jawa Bandek, Jawa Banyumas muncul lebih dulu.
nah yang jadi pertanyaan aku, mau pake bahsa banyumas yang seperti apa, sementara masyarakt terbiasa dengan bahas banyumas yang asal " NYEPLAK".
Menurut budayawan ahmad tohari yang terlibat dalam proyek ini, beberapa kata atau kalimat yang dalam bahsa ngapak agak "kasar" diganti dengan kata lain yang lebih proporsioanl tp ttp menggunakan bhs banyumasan. begitu, mba/mas anonim?
Post a Comment