Buat
sahabat yang bermukim di wilayah Kabupaten Banyumas tentu tidak asing dengan
nama R. Soetedja Poerwodibroto. Apalagi jika sahabat mendengarkan lagu yang
berjudul “Di Tepi Sungai Serayu”. Ya, lagu bergenre keroncong tersebut merupakan
ciptaan almarhum R. Soetedja, seniman dan komponis asli Banyumas. Selain dikenal
sebagai seniman, tokoh yang lahir pada tanggal 15 Oktober 1909 ini juga dikenal
sebagai salah satu pendiri Radio Republik Indonesia (RRI) Purwokerto.
Sejatinya
lagu gubahan R. Seotedjo tidak hanya lagu “Di Tepi Sungai Serayu” tapi masih banyak
lagi. Namun sebagian besar karya beliau yang tersimpan di RRI Pusat Jakarta
musnah pada saat terjadi kebakaran tahun 1950-an. Maka, banyak gubahan beliau
dalam bentuk partitur note balok ikut musnah terbakar.
Meski
begitu, gitaris Jack Lesmana alias Jack Lamers sempat meminjam beberapa
partitur lagu-lagu gubahan beliau untuk direkam. Berkat Jack Lesmana, sekitar
70 lagu sempat terselamatkan. Tapi,
ratusan lagu lainnya binasa. Sayangnya justru partitur lagu-lagu lagendaris
itulah yang ikut binasa. Lagu-lagu gubahan R. Soetedjo juga terkenal di Eropa
terutama di Negara Belanda. Misalnya lagu “Als d'Orchide Bluijen” atau dalam
bahasa Indonesia artinya “Ketika Anggrek Berbunga”. Konon, lagu tersebut
diciptakan di negeri Belanda ketika R. Seotedjo dengan pacarnya yang
berkebangsaan Belanda sedang berjalan-jalan di pasar bunga. Kemudian ada juga
lagu terkenal lainnya seperti “Waarom Huil Je tot Nona Manies” atau “Mengapa
Kau Menangis” diciptakan ketika R. Seotedjo berpisah dengan pacarnya, karena
telah menyelesaikan studi di konservatori musik di Roma, Italia.
Di
Indonesia, sebagian masyarakat hanya mengenal beberapa lagunya ciptaannya seperti
“Tidurlah Intan” yang sempat menjadi closing song siaran bahasa Indonesia radio
Australia, “Hamba Menyanyi,” “Mutiaraku”, “Kopral Jono” dan yang cukup terkenal adalah
lagu“Di Tepinya Sungai Serayu. Untuk lagu “Kopral Jono” R. Soetedjo
menggubahnya secara khusus untuk menyindir keponakannya yang berpangkat kopral,
tapi terkesan bersifat play bloy.
Sedangkan lagu “Tidurlah Intan” diciptakan untuk meninabobokan anaknya.
Masa
Kecil R. Soetedja
Soetedja
merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara putra Asisten Wedana Kebumen, Baturaden
bernama R. Ibrahim Purwadibrata. Menginjak umur satu tahun, Soetedjo kecil dijadikan
anak angkat oleh seorang pengusaha besar perkebunan di Purworejo Klampok
Banjarnegara, bernama R. Soemandar, yang merupakan kakak kandung ayahnya.
Konon
Soetedja kecil suka memukul-mukul perangkat untuk memasak di dapur ibunya. Suara-suara
yang ditimbulkan dari perangkat untuk memasak itu sangat mengganggu ayahnya. Meski
begitu, sang ayah sempat menangkap bakat musik Soetedja kecil.
Membaca
bakat yang luar biasa pada diri Soetedjo kecil, ayahnya membelikan biola Stadivarius
Paganini pada saat berdagang di Eropa. Soetedja kecil sangat gembira, dan tidak
lagi menciptakan bunyi-bunyian perkusi dari perangkat dapur milik ibunya. Di
kemudian hari, Soetedja kecil mendapat hadiah instrumen musik berikutnya, berupa
piano.
Kebetulan,
pada saat mengenyam pendidikan AMS (SMA jaman Belanda) di Bandung, R. Soetedjo ngekost di rumah seorang guru piano
berkebangsaan Belanda. Berkat gurunya itulah R. Soetedjo menjadi ahli bermain
piano.
Setelah
lulus sekolah AMS, R. Soemandar, ayah angkatnya, memberi dua pilihan studi di
Eropa, yaitu hukum dan kedokteran. Tapi R. Soetedjo lebih memilih jurusan musik
daripada kedokteran dan hukum. Betapa kecewanya sang ayah karena sang anak lebih
memilih studi musik. Karena keinginannya diabaiakan, ayahnya berpura-pura
menggertak mengusirnya. Namun Soetedja benar-benar minggat. Dia pergi ke
Kalimantan, dan mengabdi pada keluarga Sultan Hamid di Kutai Borneo.
Beberapa
tahun mengabdi pada keluarga SUlatan Hamid, Soetedja muda dipanggil pulang ke
Purworejo Klampok. Dia diizinkan bersekolah di konservatori musik Roma Itali.
Sebelum berangkat Roma, ayahndanya mengajak anak tersayangnya itu menyusuri
daerah sepanjang aliran sungai Serayu dari Klampok sampai Gambarsari. Untuk
memamerkan perkebunan serehnya di daerah Kanding dan Kemawi yang sekarang masuk
wilayah Kecamatan Somagede. Suasana sungai Serayu inilah yang telah
menginspirasikan dirinya menciptakan lagu legendaris “Di Tepinya Sungai
Serayu.”
Dikemudian
hari, Soetedja dikenal sebagai pendiri Orkes Studio Jakarta, yang merupakan
orkes simphony pertama di Indonesia. Tapi sayang, Orkes Simphony Jakarta
ditinggalkan, karena beliau diangkat sebagai Direktur Korp Musik Angkatan
Udara. Sedangkan untuk mengisi acara-acara di RRI beliau menggunakan Orkes
Melati yang melantunkan irama musik barat yang dikeroncongkan.
Pada
tanggal 14 Maret 1970, Bupati Banyumas Soekarno Agung meresmikan nama Soetedja sebagai
nama gedung kesenian kebanggan masyarakat Banyumas yang terletak di samping
Pasar Manis Purwokerto itu, sebagai bentuk penghargaan kepada R. Soetedjo yang
telah mengharumkan nama Banyumas.
Komponis
legendaris kelahiran Banyumas itu wafat pada tanggal 12 April 1960 ketika usianya
mencapai 51 tahun. Beliau meninggalkan seorang istri dan sembilan putra. Jasad
beliau dimakamkan di pemakaman Karet Jakarta. Untuk mengingatkan bahwa beliau
pernah memimpin misi kesenian Indonesia ke India, maka putra bungsunya yang
lahir pada saat beliau berada di India diberi nama Krisno Indiarto.
Eksistensi
etnis Tionghoa memiliki tempat tersendiri dalam sejarah bangsa Indonesia. Mereka tidak hanya memiliki andil dalam
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat,
melainkan juga berkontribusi bagi pergerakan bangsa Indonesia menuju
kemerdekaan. Pertanyaannya, bagaimana eksistensi etnis Tionghoa dalam konteks
kekinian? Pertanyaan ini diajukan karena etnis Tionghoa masih memiliki
identitas kultural yang tidak mungkin lenyap begitu saja.
Seperti
halnya identitas Jawa yang tidak bakal hilang ketika seorang Jawa melebur dalam
kenyataan Indonesia. Sama halnya dengan identitas Padang yang tidak bakal
hilang ketika orang Padang menyatakan diri menjadi anak sah dari Indonesia. Artinya,
memperbincangkan keberadaan etnis Tionghoa tetap menarik meskipun sesungguhnya
dalam entitas Indonesia, tidak ada lagi identitas mayoritas ataupun
minoritas,yang ada hanyalah identitas Indonesia.
Buku
mencoba untuk memberikan sebuah gambaran umum mengenai kondisi masyarakat
Tionghoa kontemporer. Tidak hanya terbatas pada etnis Tionghoa yang berada di
perkotaan, namun juga keturunan Tionghoa
yang berada di pinggiran, misalnya saja mereka yang disebut dengan Cinta
Benteng yang bermukim di Tangerang, Banten. Keberadaan warga Cina Benteng
mematahkan anggapan umum bahwa keturunan
Tionghoa selalu hidup berkecukupan. Warga Cinta Benteng justru sebaliknya.
Mereka tidak berbeda dengan warga marjilan
pada umumnya yang selalu tersisihkan, terancam penggusuran, bahkan
sering menerima tindakan-tindakan diskriminatif.
Konteksnya
tentu bukan soal tuntutan privelese bagi keturunan etnis Tionghoa, namun
tuntutan untuk dihargai, diperlakukan, dan diberikan hak yang sama seperti
warga Indonesia lainnya. Toh pada dasarnya mereka sudah turun-temurun berada di
Indonesia, menghirup udara Indonesia, dan bahkan melalukan kewajiban sebagai
warga negara pada umumnya.
Buku
ini juga seperti ingin memperlihatkan betapa tidak ada alasan untuk
mempraktikkan diskriminasi terhadap masyarakat keturunan Tionghoa. Apalagi
sejak jauh-jauh hari mereka mencoba mempraktikkan akulturasi. Perlakukan
diskriminatif hanya akan membuat jurang yang kian menganga antar etnis.
Tidak
hanya memotret keberadaan masyarakat keturunan Tionghoa di Jakarta, buku ini
juga mengungkapkan sisi kehidpan etnis Tionghoa di wilayah lain di di
Indonesia, seperti di Semarang,
Yogyakarta, Simgkawang, Padang hingga Aceh. Dari Semarang buku ini melaporkan
Pecinan Semarang yang tidak pernah mati. Salah satunya adalah Jalan Semawis
yang selalu diramaikan oleh gerai-gerai kuliner di malam hari. Keramaiannya
memuncak terutama pada malam minggu.
Jalan
Semawis bukan sekadar tempat wisata kuliner, melainkan juga simbol geliat
keguyuban masyarakat keturunan Tionghoa di kota itu. Seperti ingin
diperlihatkan bahwa masyarakat Tionghoa masih hidup dan tetap dapat hidup
berdampingan dengan warga Semarang lainnya.
Pendeknya
buku ini ingin menunjukkan serbaneka kehidupan masyarkat keturunan Tionghoa di
Indonesia. Meskipun tidak dapat mengungkapnya secara komprehensif, namun dari
sini kita dapat terbuka ruang-ruang perspektif untuk melihat bagaimana masa
depan masyarakat keturunan Tionghoa dan identitas keindonesiaan. (Peresensi NigarPandrianto)
Film
ini diangkat dari novel Roro Mendut karya YB Mangunwijaya. Sultan Agung
menghadiahkan semua hasil rampasan perang dari Kadipaten Pati kepada Tumenggung
Wiroguno. Wiroguno tak dapat menikmati semua hartanya, karena Roro Mendut, yang
merupakan salah satu rampasan perang tersebut, menolak Wiroguno. Masalah
semakin pelik ketika Roro Mendut mencintai Pronocitro.
Disutradarai
oleh Ami Prijono dan diproduksi pada tahun 1983, dibintangi anatara lain oleh
Meriam Bellina, Mathias Muchus dan W.D. Mochtar. Film dengan latar belakang
abad ke-17 di kerajaan Mataram yang terletak di Jawa Tengah. Film ini
didasarkan pada legenda Roro Mendut yang dikisahkan dalam babad cerita Jawa.
Roro
Mendut, seorang wanita cantik yang hidup pada masa lalu di kerajaan Mataram
pada era Sultan Agung berkuasa (sekitar abad 17). Roro Mendut diasuh oleh
Adipati Pati (dulu namanya Pesantenan dan sekarang terkenal sebagai penghasil
santan yang terkenal dan juga penghasil dawet, minuman khas Jawa yang
menggunakan cendol dan santan).
Pati
sendiri adalah sebuah kadipaten kecil yang belum ditaklukan oleh Mataram.
Sultan Agung ketika menjabat raja Mataram, juga hendak menguasai
kerajaan-kerajaan kecil yang masih bertebaran di pulau Jawa, termasuk mencaplok
Pati sebagai salah satu kerajaan kecil di pesisir utara. Politik yang
dijalankan oleh Sultan Agung, jika tak perlu berperang, kenapa harus perang.
Maka dijalankanlah usaha persaudaraan dengan perkawinan. Diutuslah Tumenggung
Wiraguna untuk menaklukkan Pati.
Setibanya rombongan Mataram di Pati dan bertemu dengan Adipati. Melihat besarnya kekuatan Mataran, Pati akhirnya sepakat mengakui kekuasaan Mataram. Sebagai tanda taklukan, Adipati menyerahkan gadisnya kepada Tumenggung Wiraguna. Dipilihlah gadis asuhnya, Mendut untuk dijodohkan dengan Tumenggung Wiraguna.
Roro
Mendut menolak karena sebetulnya dia telah mempunyai tambatan hati, seorang
pemuda yang bernama Panacitra. Mereka menyembunyikan hubungan mereka ini dari
Tumenggung Wiraguna. Backstreet istilahnya kalau jaman sekarang. Tumenggung
Wiraguna yang sakit hati karena ditolak pun lalu murka dan menerapkan pajak
yang sangat besar untuk Pati. Dimana pajak itu tidak mungkin dapat dikumpulkan
dengan mudah oleh sebuah daerah yang kecil seperti Pati tersebut.
Nah,
karena kepepet dengan keadaan, naluri dagang Roro Mendut terpacu. Dia lantas
melakukan survey, dari surveynya ini dia melihat bahwa banyak kaum bangsawan
yang merokok. Lalu dia mendapat ilham untuk menjual rokok lintingannya, dimana
dia menggunakan bibirnya untuk melekatkan kertas rokok dan juga membakarnya.
Rokok bekas hisapannya ini lalu dijual dengan harga mahal, karena para
bangsawan sangat terpukau dengan kecantikan dan pesona Roro Mendut.
Karena
survey yang tepat (bukan hasil googling semata), rokok lintingan dan bekas sedotan
Roro Mendut ini laris manis. Dana yang masuk pun sangat besar (seperti cukai
rokok yang masuk ke negara Indonesia ) dan digunakan sebagai pembayaran pajak
kepada Tumenggung Wiraguna.
Namun,
Tumenggung Wiraguna yang masih kecewa dan sakit hati, terus memata-matai Roro
Mendut. Akhirnya rahasia percintaan Roro Mendut dan Panacitra terbuka.
Tumenggung
Wiraguna murka dan membunuh Panacitra dengan sebilah keris. Roro Mendut yang
melihat kekasih hatinya meregang nyawa meratap dan bersumpah bahwa Wiraguna tak
akan mendapat dirinya dalam keadaan hidup. Roro Mendut mengambil keris yang
menancap di dada Panacitra dan menggunakannya untuk membunuh dirinya..
Cerita
tentang Roro Mendut ini merupakan cerita legenda yang beredar di Indonesia.
Dimana menggambarkan telah dikenalnya potensi perempuan dalam pemasaran, bahkan
di zaman kerajaan Jawa abad ke-17. Di samping itu, penolakan Roro Mendut
diperistri oleh Tumenggung Wiraguna yang notabene adalah seseorang yang kaya
dan berkuasa, memperlihatkan adanya sifat kemandirian perempuan Nusantara yang
telah ada, walaupun tidak umum, pada saat babad tersebut ditulis. (terima kasih
buat sobat awydoank)
Dariah
lahir di desa Somakaton, kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas dengan nama
Sadam, berjenis kelamin laki-laki. Ibu bernama Samini dan ayah bernama
Kartameja yang hidup sebagai petani kecil. Dariah tidak dapat menyebutkan angka
tahun yang pasti tahun berapa Dariah dilahirkan. Namun demikian Dariah
menuturkan bahwa kakeknya pernah bercerita dirinya lahir tidak lama setelah
Kongres Pemuda. Dengan demikian diperkirakan Dariah lahir pada akhir tahun 1928
atau awal tahun 1929.
Pada
umur 5 tahun Dariah ditinggal mati ayahnya, kemudian Dariah dan ibunya ikut
dengan kakeknya, Wiryareja di desa yang sama. Wiryareja adalah juga seorang
petani kecil dengan lahan pertanian yang tidak terlalu luas. Bersama kakeknya,
Sadam (Dariah) tumbuh sebagai anak desa yang lugu. Dariah menerangkan, “Pada
sekitar umur 8 tahun saya dikhitankan oleh kakek Wiryareja. Saya dikhitan
sebelum datangnya Jepang, sekitar tahun 1942. Dengan asumsi Dariah lahir tahun
1929, maka saat pelaksanaan khitanan terjadi pada tahun 1938.
Pada
saat marak-maraknya kathok karung (celana terbuat dari bahan karung) ada
seorang pengembara (masyarakat setempat menyebutnya maulana) bernama Kaki
Danabau datang ke rumah kakek Wiryareja. Tidak ada seorang pun yang tahu siapa
dan dari mana asal Kaki Danabau, sebab nama tersebut lebih terkesan nama
samaran. Kata “danabau” berasal dari kata “dana” yang berarti memberi dan “bau”
berarti tenaga. “Danabau” berarti memberi bantuan tenaga, artinya Kaki Danabau
menyediakan tenaganya guna membantu orang lain yang membutuhkan.
Kaki
Danabau berdomisili di desa Somakaton dan bertempat tinggal di rumah Wiryareja.
Di rumah kakek Dariah, Kaki Danabau membantu menggarap lahan pertanian,
membersihkan kebun, dan membantu pekerjaan rumah tangga yang lain tanpa mengharapkan
imbalan apapun. Apa yang secara langsung diterima hanyalah makanan pokok yang
disantapnya pada saat-saat tertentu saja. Menurut Dariah, Kaki Danabau jarang
sekali makan nasi. Kaki Danabau sekedar makan beberapa potong ubi jalar rebus
dalam satu hari, selebihnya hanya menghisap rokok klobot (daun jagung) yang
dipadu dengan klembak menyan.
Pada
hari-hari tertentu Kaki Danabau pergi tanpa ada yang tahu ke mana arahnya dan
kemudian datang lagi. Hampir satu tahun Kaki Danabau datang dan pergi ke rumah
Wiryareja sehingga keberadaannya sudah seperti keluarga sendiri.
Pada
suatu ketika Kaki Danabau mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan
sebelumnya. “Wirya, kae putumu si Sadam tah kedunungan indhang lengger. Angger
gelem ginau bisa dadi lengger sing misuwur” (Wirya, cucumu si Sadam dirasuki
indhang lengger. Kalau mau belajar dapat menjadi lengger yang terkenal),
demikian kata Dariah mengenang masa lalunya.
Apa
yang dikatakan oleh Kaki Danabau tidak lepas dari kenyataan yang ada. Dariah
kecil meskipun berjenis kelamin laki-laki, namun suka lenggak-lenggok seperti
seorang lengger dan suka nyindhen (menyuarakan vokal sindhenan) atau melagukan
tembang-tembang Jawa. Kegemarannya menari dan menyanyi dilakukan sambil
melakukan pekerjaan apa saja. Rengeng-rengeng (menyanyi dengan suara lirih)
adalah salah satu kesenangannya selain menari seperti halnya yang dilakukan
oleh lengger di atas pentas. Lagi pula di lingkungan keluarga Dariah ada dua
orang yang pada masa mudanya menjadi ronggeng, yaitu neneknya yang bernama
Mainah dan bibiknya yang bernama Misem. Darah seniman telah mengalir ke dalam
dirinya sehingga tidak mustahil bila Dariah sangat calakan (cepat menangkap)
tembang-tembang yang pernah didengarnya.
Dariah
tidak tahu apakah benar-benar telah kerasukan indhang lengger atau sekedar
terimajinasi kata-kata Kaki Danabau. Setelah mendengar kata-kata tersebut dalam
diri Dariah yang kala itu masih bernama Sadam terjadi gejolak yang tidak
terkendali. Sadam seperti dituntun oleh alam bawah sadar. Tanpa pamit dengan
orang-orang tercinta dan tanpa tahu kemana tujuannya, Sadam pergi dari rumah
tanpa berbekal apapun kecuali sedikit uang yang dimilikinya.
Sadam berjalan sekedar mengikuti langkah kaki. Hal yang masih diingatnya adalah berjalan ke arah timur mengikuti jalan beraspal jalur Banyumas-Banjarnegara, kemudian berbelok ke kiri ke arah Purbalingga. Di daerah Bukateja Sadam sempat berhenti dan diberi air minum oleh warga setempat.
Dariah
terus berjalan entah ke mana dan entah berapa hari sudah dilewatinya, hingga
akhirnya sampai di sebuah pekuburan tua. Dariah melihat banyak batu lonjong
dalam posisi berdiri (menhir) dan ada sebuah arca wanita cantik terbuat dari
batu. Dariah belum juga tahu di wilayah mana dirinya berada. Dariah hanya dapat
memasrahkan hidup dan matinya kepada Hyang Maha Pencipta, dan memohon kalau
memang ditakdirkan menjadi seorang lengger maka dirinya akan menerima dengan
sepenuh hati.
Di
tempat yang sebelumnya sama sekali tidak dikenalnya, Dariah sama sekali tidak
berniat bertapa atau bersemadi, tetapi betapa dirinya merasa tenang dan damai,
sehingga merasa betah dalam waktu berhari-hari. Dariah merasa mendapatkan
perlindungan dari kekuatan magis yang tidak pernah dimengerti. Dariah tidak
dapat mengingat berapa hari dan berapa malam berada di makam tua tanpa makan
dan minum. Menurut Dariah peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada masa
penjajahan Jepang menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia atau sekitar tahun
1944 - 1945 .
Setelah
berhari-hari Dariah berada di tempat pekuburan tua yang sangat mendamaikan
hatinya, selanjutnya mulai terdengar pembicaraan orang-orang yang lewat di
jalan yang ada di sisi barat tempat ia bersimpuh. “Kae sapa sih sing lagi tapa
nang Panembahan Ronggeng?” (Siapa sih yang sedang bertapa di Panembahan
Ronggeng?), tanya seseorang. Yang lain menjawab sekenanya, “Mbuh wong ngendi.
Wong nang Panembahan Ronggeng mesthine ya lagi ngudi men bisa dadi ronggeng”
(Entah orang mana. Orang di Panembahan Ronggeng mestinya ya sedang memohon agar
dapat menjadi ronggeng). Dariah mulai paham bahwa selama beberapa hari ternyata
dirinya berada di Panembahan Ronggeng yang merupakan tempat bagi orang memohon
kepada Penguasa Alam agar dapat menjadi seorang ronggeng.
Panembahan
Ronggeng merupakan tempat bersemadi bagi orang yang menginginkan dirinya
menjadi ronggeng atau lengger, terdapat di desa Gandatapa, kecamatan Sumbang,
kabupaten Banyumas. Dengan demikian Dariah telah berjalan mengelilingi tiga
kabupaten, yaitu kabupaten Banyumas, Banjarnegara, dan Purbalingga, sebelum
akhirnya kembali ke wilayah kabupaten Banyumas di lokasi Panembahan Ronggeng.
Setelah
merasa puas berada di Panembahan Ronggeng, selanjutnya Dariah melanjutkan
perjalanan pulang. Untuk menuju ke tempat tinggalnya di Somakaton, Dariah tidak
begitu saja tahu jalan yang harus dilalui. Dariah harus banyak bertanya kepada
orang yang dijumpainya dalam perjalanan. Akhirnya Dariah sampai di kota
Purwokerto. Di Purwokerto Dariah membelanjakan bekal uangnya untuk membeli
perlengkapan yang dibutuhkan oleh seorang lengger dalam pementasan. Dariah
berambut pendek, dibelinya satu buah gelung brongsong (konde yang dilengkapi
semacam ikat kepala sehingga pemakaiannya tinggal diterapkan di kepala). Dariah
juga membeli kemben (kain penutup dada), sampur, kain, dan keperluan lain.
Barang-barang
hasil belanjaan yang dipersiapkan untuk perlengkapan lengger lalu dibawanya
pulang. Dengan berjalan kaki akhirnya Dariah sampai di Somakaton. Betapa
gemparnya seluruh keluarga, kerabat dan tetangga-tetangganya demi mengetahui
Dariah pulang setelah sekian lama pergi entah kemana tanpa ada seorangpun yang
tahu. Sesampainya di rumah Dariah menceritakan semua yang dialami selama
kepergiannya. Seluruh keluarga dan kerabat menanggapi positif semua yang
terjadi. Semua kerabat menganggap bahwa semua yang telah terjadi merupakan
bagian dari proses yang harus dialami oleh Dariah untuk menjadi seorang
lengger. Beberapa orang yang memiliki ketrampilan bermain gamelan dikumpulkan
untuk berlatih bersama-sama dengan Dariah.
Semenjak
itulah Dariah menjadi seorang lengger. Menurut Dariah apa yang dialaminya itu
terjadi pada masa penjajahan Jepang menjelang kemerdekaan Indonesia (antara
tahun 1944 – 1945).
Postingan
Ini Ditulis oleh Wong Banyumas